Tuesday, November 7, 2017

Krisis

Bukan krisis moneter 98
Ini melibatkan dua orang insan
Dua dekade lebih membangun bahtera
Seatap tak menyapa, sekamar tak mencinta

Tersenyum dusta di depan darah dagingnya
Namun buah cinta mereka itu sudah dewasa
Mafhum mana haq mana bathil
Bukan lagi yang dibodohi semasa kecil

Dia menangis, jam tiga
Meminta Tuhan mengakhiri semua
Krisis itu datang dan pergi
Tak tahu waktu takkan pernah pula dinanti

Rumahku nerakaku, pergiku surgaku
Tak elok pula jika berhari hari bertamu
Meminta tempat peraduan dan makanan
Ketika pakaian telah lusuh dan hati kusut nian

Mulai kusimak perlahan hidupku
Dari belakang saat aku masih disusu
Indah dan hangat pelukan bunda
Ayahanda pulang senja lalu dikecup pipinya

Aku tumbuh dalam kebahagiaan
Aku bermetamorfosa dalam kecintaan
Berkegiatan sesuai sukaku dan bakatku
Ayahbunda selalu tau sejauh mana aku mampu

Semakin tinggi pohon semakin kencang angin bertiup
Terus kukonsumsi asam garam hidup
Tak ada lagi aku yang sepolos kapas
Pemberontakan batin itu ada mengiringi nafas

Tak kulihat lagi ayah dikecup bunda
Tak kulihat lagi makanan di atas meja
Namun aku tetap disangunya
Kupendam pertanyaan dari mana pundi-pundi itu datangnya

Tak kulihat lagi ayah keluar rumah
Semakin sering kulihat ayah marah
Tak kulihat lagi bawang yang diiris lalu ditumis
Semakin sering kulihat bunda menangis

Bunda kerap melirik posel ayah
Penasaran apa yang dijamah
Ayah kerap marah pada bunda
"Bunda ini ingin tau saja!"

Lupakah mereka akan janji sehidup semati
Yang diucapkan disaksikan wali
Lupakah mereka untuk saling mengasihi
Yang diucapkan didepan para saksi

Akhirnya, tak pernah kulihat ayahbunda makan bersama
Meja saji kosong, tak kuhiraukan perut ini perihnya
Kubobol tabunganku tiga tahun lalu
Tak kupedulikan spesifikasi laptop model terbaru

Jika rumahmu nerakamu
Kemana lagi kamu akan mengadu?
Jika hidupmu nerakamu
Siapkah kau beratapkan batu?

0 komentar:

Post a Comment

people who read my blog

search here?

Amaranggana Ratih Mradipta. Powered by Blogger.