Wednesday, October 11, 2017

8 Oktober 2017

    Sejak pertemuan pertama itu, bayangmu terus menghantuiku. Senyum yang mampu menyeka keringat setelah empat ratus dua puluh menit lamanya berada di tempat yang membuatku penat, dan tutur yang mampu tenangkan hati dan pikiran. Mungkin aku sekedar kagum, mungkin, namun semakin aku mengenalmu, semakin aku ingin berada di dekatmu setiap saat. Atau hanya sekedar melihatmu menggiring bola kuning di lapangan bersama teman temanmu dengan cekatan.

    Tapi siapa aku? Siapa aku yang bisa mengharapkanmu? Melihatmu dari jendela saja aku malu, apalagi untuk menyayangimu. Tapi kau, kau melindungiku selalu bagai seorang kakak kepada adiknya. Kau pelipur lara bagai seorang sahabat yang setia. Kau yang membuat soreku indah. Kau hadir tanpa pamrih, kau setulus embun pagi yang membasahi bumi, menghapus dosa kemarin hari dan menyejukkan hari ini. Orang bilang, jika kau ingin orang itu mencintaimu, maka buatlah dia tertawa, namun setiap kali kau tertawa, akulah yang jatuh cinta. Karena kamu hampir segalanya.

    Hampir, namun hampir tak menjelaskan semua. Hampir tak selalu dapat mengungkapkan melodi sendu tentang perasaan ini, atau syair mendayu tentang kamu. Sampai akhirnya cinta ini hanya mampu kupendam, mengungkapkan enggan, melupakan tak mau, hanya mengambang dalam atmosferku yang tak pernah kau hirup, semakin menipis atmosfer itu seiring aku menemukan orang lain. Tak sanggup aku dalam stagnansi yang membutakanku, aku berharap dengan mulai membukakan hatiku kepada orang lain, dapat mengenyahkan dirimu. Aku tersadar siapa aku dan siapa kamu, yang seperti minyak dan air.

    Bukan aku tak mencintai kekasihku, bukan aku hanya menjadikannya pelarian, aku tulus mencintainya karena dia adalah dia, namun kau tetap yang pertama. Mendungmu selalu kurasakan, apalagi badaimu, badai dalam batinmu. Kau tak pernah tau aku ikut merasakannya, lagi lagi karena aku memendamnya, kalut dalam perasaanku sendiri, karena aku takut menyakiti kekasihku. Kamu tetaplah kamu perasaan ini tak berubah, bahkan tak terkikis oleh air mata kekasihku yang memohonkanku mengenyahkanmu dan perasaan ini tak hangus terbakar api cemburunya. Sampai akhirnya akulah yang terkikis, akulah yang hangus, aku sadar, takkan selamanya begini.

    Akhirnya badai katrina itu datang, kau mengundangku senja itu untuk bercerita tentang dia yang telah kau temukan. Dia yang kelak akan menjadi sandaran hatimu saat kau lelah akan munafiknya dunia. Dia yang kelak akan menggandengmu menuju altar kehidupan di depan sana. Dia yang kelak akan menyandingimu, menemanimu, menghapus semua gundahmu namun melimpahkannya padaku. Hatiku tidak terima, kenapa harus dia? Namun tak kuhiraukan lagi kecambuk kecambuk dalam sukmaku, aku menandatangani perjanjian itu untuk melepasmu dalam hidupku, merelakanmu, cinta pertama di masa sekolahku, untuknya. Senja kala itu muram, bahkan bola oranye yang sedang kau giring itu, dia juga lelah.

    Tentu hanya aku yang merasakan kehampaan itu, karena salahku sendiri memiliki rasa yang tak sampai tujuannya ini. Kau telah berubah, dengan dalih tak ingin kekasihku khawatir akan keselamatan hubungan aku dan dia, dengan mengatasnamakan kalau kau sudah menjadi kakakku sendiri. Padahal aku tau, aku tau, kau mana butuh perhatianku lagi, kau mana butuh canda tawaku lagi, kau mana butuh aku lagi. Aku sepenuhnya memahami situasi ini, kau tau aku takkan sepenuhnya melepaskanmu, aku khawatir, aku sangat khawatir ada seorangpun yang melukai batinmu. Karena apabila ia melukai batinmu, dia membunuh batinku.

    Rasa rindu yang selalu menghampiri setiap senja menyambutku di lapangan, kutunggu kehadiranmu ditengah tigapuluh orang lebih yang sedang beriringan dengan rapi. Lelah aku mengecek jam tanganku menunggu langkahmu yang seakan dapat mewarnai duniaku yang pankromatik semenjak kau hengkang dari ini. Namun apabila kau datang pula, aku harus menyembunyikan kegembiraan ini dalam dalam supaya tak tumpah tuah ke hadapanmu, aku harus terus bersikap profesional walaupun nyawaku sebenarnya sedang menyapamu dengan hangat.

    Namun sering kudengar kabar tak sedap dari sejawat bahwa kekasihmu sering menyeleweng, perlukah aku percaya? Namun akupun sudah kenal dia, mana mungkin dia melakukan hal demikian? Namun ketika aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Tak tega aku membayangkan apabila kau sedang melihatnya pula. Tidakkah kau tau, tangan itu sedang menghampiri kepalanya dengan mesra, tangan orang lain. Tatapan itu diam diam membelainya, tatapan orang lain. Sudikah kau melihat pemandangan seperti itu? Akupun tak sudi, ingin kutikam saja dia karena dia telah menyakiti batinmu yang terdalam.

    Namun kaupun tak percaya apa yang kukatakan, kaupun tak mau tahu bagaimana kronologisnya, kau sudah terbutakan oleh cintamu. Padahal kau sendiri yang mengatakan bahwa kau sering diinjaknya, penghargaanmu sering diabaikannya, kau sendiri yang mengatakan bahwa kau ingin mendapat kecelakaan untuk melihat masih pedulikah dia denganmu. Namun kau membalikkan semua padaku, kau menuduhku memiliki tujuan tersembunyi dibalik semua ini, kau menuduhku ingin merusak hubungan kalian, kau menuduhku ingin mencari untung atas kedukaanmu. Teganya kau mengatakan demikian, teganya kau membunuh rasa percaya yang telah aku bangun bertahun tahun lamanya.

    Apa untungnya bagiku apabila niat asliku ingin merusak hubungan kalian? Aku sudah memiliki pendamping yang kelak akan menemaniku sampai nanti. Apa untungnya bagiku apabila niat asliku ingin merebutmu? Bukankah aku sudah sadar posisiku dan posisimu bagai minyak dan air? Apa untungnya bagiku membagikan aibnya padamu, sedangkan dia adalah kekasihmu sendiri yang seharusnya kau lebih menahu tentangnya. Kau tuduhkan semua itu padaku seakan aku ini serigalanya yang dihadapanmu menjadi domba. Mengapa teganya kau berprasangka sebusuk itu?

    Benar dugaanku dari awal, kau memang sudah tak menganggapku lagi sejak selesai kau menceritakanku tentangnya senja kala itu. Kau hanya bermain hati dan pura pura menghidupkan duniaku yang pankromatik tanpa canda tawa dan ujaran jenakamu. Aku tak mengerti apa yang ada dalam benakmu saat mengatakannya, seakan aku ini wanita hina yang mengemis perasaanmu. Tidak, tidak akan lagi aku tertipu dengan muslihatmu yang semanis madu namun mematikan bagai racun. Tak akan ada lagi sebutan sebutan inisial kita, anggap saja sebutan itu telah berenang jauh ke dalam laut dan takkan lagi muncul ke daratan kalbu yang sedang terkhianati ini.

    Delapan oktober dua ribu tujuh belas, matinya perasaan yang telah tiga tahun berdiri tanpa pilar. Lama kelamaan diriku akan terbiasa tidak mengindahkan kehadiranmu.

0 komentar:

Post a Comment

people who read my blog

search here?

Amaranggana Ratih Mradipta. Powered by Blogger.