Tuesday, October 3, 2017

Teroesir (red: terusir) (1)

    Aku bersumpah akan menutup rapat rapat lembaran usang masa kelamku, dimana manusia bermuka dua tak lain adalah karibku. Dimana dibalik semua peluk ada belati yang ditancapkannya ke punggungku, dan manusia yang mengeksploitasi jiwaku sesuka mereka sampai aku terjatuh dan tak ada yang peduli. Jangankan peduli, menengok saja tak sudi. Tak lama kulupakan semuanya, lalu kubumihanguskan kenangan emas itu dengan memasukkannya ke kobaran jago merah. Seiring sisa sisa kertas merangkak naik lalu turun kembali ke tanah menjadi abu, begitulah hatiku saat kau dustai.
    Seiring kubumihanguskan mushaf mushaf itu, wajahnya tampak lagi, cinta pertamaku masa sekolah. Tak pernah kunilai ia sekedar paras, cinta ini suci bukan melihat material. Sosoknya yang santun, bertalenta dan selalu ingin tahu, membuatku tertarik seketika. Seakan seluruh dunia tau kita adalah sepasang insan yang sedang kasmaran, padahal kita tak lebih dari sahabat. Namun apa yang kupunya, ketika teman temanmu selalu menilaiku secara fisik. Aku memang tak anggun, tak memiliki paras bak bidadari, apalagi bentuk badan seperti gitar spanyol.
    Lama tak kuhiraukan celaan celaan temanmu tentang bagaimana hinanya aku mengharapkan dirimu, bak pungguk merindukan bulan. Namun tekanan itu semakin ada dan semakin menguat, aku tak tahan lagi menerimanya. Lalu sudilah aku menyiksa diriku sendiri sampai mendekati ajalku, untuk menjadi wujud wanita ideal bagimu, atau bagi perspektif temanmu? Namun apa yang kulihat, wahai pemain gitar? Kau di bibir pantai itu bersamanya yang saat ini kau cinta. Rasa hati ingin menyiksa diriku lagi sampai bertemu malaikat pencabut nyawa. Kau yang kutunggu dasawulan ini, kau yang selalu kuusahakan apapun, kau yang ku cintai sejak awal kita berjabat tangan masa itu, kau, yang aku hampir mati demi menyempurnakan fisikku, lalu kau tinggal aku bersama temanku sendiri?
    Wahai, pemain gitar. Tak sudi lagi aku menyebut namamu dalam doaku lima waktu. Tak sudi lagi aku mengingat potret bersama kita yang mesra. Tak sudi lagi aku bahkan menyebut namamu di bibir ini.
    Pemain gitar, aku telah terusir dari melodi indah yang dihasilkan keenam senarmu. Kini ku bukanlah sumber inspirasi mahakarya simfonimu.

    Wahai engkau sang pujangga, syairmu membelaiku manja saat aku terpuruk menatap kelamnya langitku. Namun tak semudah itu aku dirayu lagi untuk mencinta, tak semudah itu melupakan dia yang berkhianat. Apalagi kau seorang pujangga yang dipuja puji khalayak banyak, dan karibku konsumen setia syair indahmu, tak mungkin aku mengkhianati saudariku sendiri. Namun rumor hangat yang menyatakan kedekatanmu dengamu berhembus santer, dan sampai ke telinga saudariku. Kau sudah tau yang terjadi, teror dan caci maki dihadapkan padaku, padahal tak satupun aku menambatkan rasa padamu, sang pujangga. Siapa yang menebar kebencian ini yang begitu dalam? Lalu aku lagi yang terusir dari kursi itu.
    Sang pujangga, jangan kau dustai perasaanmu dengan lebih memilihku dibanding wanita se sempurna merpati putih itu. Jangan kau bermanis lidah denganku karena sudah banyak janji palsu yang kulahap. Jangan kau tumbuhkan harapan itu jika kau tak berniat menuainya. Aku sungguh tidak butuh cinta itu, aku hanya membutuhkan teman untuk bersandar. Kau tarik ulur terus perasaanku sampai akupun lelah, kau ikat aku lalu kau lepaskan aku saat merpati putih itu kembali.
    Sampai kau berniat memelihara merpati putih itu, sudah lama kunantikan kabar itu. Lalu kau meminta maaf padaku setelah kau mengusirku dari penamu.
    Tak berguna, wahai pujangga. Sudah kukatakan dari awal, tak sampai syairmu melelehkan hatiku, kau hanya ingin semakin dikenal dengan menyangkutkan namaku dalam kabar burung tersebut.
    Aku telah terusir sepenuhnya dari bait bait seorang pujangga yang syairnya menyeruak dalam jiwa.

0 komentar:

Post a Comment

people who read my blog

search here?

Amaranggana Ratih Mradipta. Powered by Blogger.