Thursday, May 6, 2021

[series review] BRIDGERTON: Flop Plot, Historically Fantasized

    A lot of people actually hyped this series on social media, katanya bagus banget, and sweet, and yada yada yada. As a person who doesn’t really into romantic story, I cannot relate, tapi film ini didasarkan pada suatu period of time, which the 19th century regency era, London, aku jadi tertarik. I never really watched the trailer or the teaser or whatever that is, aku juga enggak baca-baca fan theory, you know, I don’t have social media jadi aku langsung aja gas. All I know about this series adalah ya cuman ini film tentang regency era di London, aku suka film dan series-series Eropa, especially English. So, here we go. 

    Bridgerton mengambil latar abad 19 regency era di London, sebenernya inti dari cerita ini adalah bagaimana wanita wanita yang sudah pada usianya untuk keluar ke society untuk cari jodoh, dalam hal ini ceritanya si Daphne Bridgerton. Tentu aja untuk jadi the ‘star’ of the season, seseorang harus tampil semaksimal mungkin, secantik mungkin, dengan baju sebagus mungkin agar bisa di approve sama Ratu Charlotte dan jadi diperebutkan pria pria yang juga single, istilahnya ini adalah mating season lah. Daphne punya kakak paling tua, yang jadi kepala keluarga Bridgerton karena bapaknya udah meninggal, namanya Anthony. Masalahnya Anthony ini sangat overprotective sama Daphne, dia yang memutuskan Daphne bisa bergaul sama siapa.
    Anthony jodohin Daphne sama Lord Berbrooke, tapi intinya Daphne ga setuju and she accidentally ran to this second leading character, Simon Hastings. Now, Simon, dateng ke London buat ngurusin kematian bapaknya, ditemenin sama....aku gatau, lupa, relatives nya si Simon sama Lady Danbury, semacam Godmothernya gitu mungkin. Daphne buat sebuah perjanjian sama Simon buat pura-pura mereka PDKT, biar Daphne terlepas dari perjodohannya dan Simon juga enggak digossipin ‘Lady Whistledown’ tentang thirst mothers yang pingin jodohin anak perempuannya sama Simon. But surprise surprise, Simon ternyata temennya Anthony waktu di Oxford, dan Anthony malah gamau Daphne jadi sama Simon. Intinya, ended up Simon juga sama Daphne. 
    To be honest, I don’t like this show, dari episode pertama aja aku udah enggak suka. Dari episode pertama menurutku udah cringe, karena udah keliatan nih siapa the ‘beauty’, of course the Bridgerton family who have handsome sons and beautiful daughters (even they narrate it that way), dan siapa yang ‘least beauty’, of course the Featherington family. This show narrates really cringey basic physical attractions, whoever the finest wins. Mungkin dulu memang begitu sistemnya, cuman disini bener-bener mereka pake aktor dan aktris yang either sangat sangat attractive dan yang tidak attractive. I mean, yes, this show is about another period, tapi ini buat penonton jaman sekarang gitu, I mean, really? Do you have to be that obvious? Sorry, but I just don’t really like that.
    I also did some research orang-orang yang react di youtube dan menyampaikan ‘keresahan’ mereka, bahkan aku juga liat historically accurate/inaccurate nya, sampe kostumnya bahkan yaampun, thank God direvieu sama Raissa Bretaña, I LOVE HER SO MUCH. There are so many historical inaccuracy yang dikomentarin orang-orang, utamanya tentang events yang terjadi, dan tentang coloured people issues, dan keputusan untuk mengambil tokoh nyata kayak King George dan Queen Charlotte, yang malah beneran jadi MAJOR frickin criticism buat series ini. Memang sih, banyak juga series atau film dengan mengambil latar suatu period of time, yang bahkan lebih flop soal akurasinya. Tapi di kasus Bridgerton ini orang-orang mungkin udah muak sama plot dan the couple, Simon and Daphne, itself, jadi masalahnya numpuk-numpuk gitu. Okay let’s talk about the couple.
    Daphne dan Simon, mereka awalnya cuman mau pura-pura aja mereka suka satu sama lain di depan orang-orang, tapi aslinya mereka roast satu sama lain. Daphne whining kalo Simon arogan karena dia punya ‘title’, dia adalah seorang Duke, dan dia memandang rendah orang-orang lain. Sedangkan Simon memandang Daphne cuman pingin nikah, dan masalah hidupnya cuman satu itu aja, seakan nggak ada hal penting lainnya. Terus, beberapa episodes later, mereka (utamanya Daphne) ternyata ada rasa, Daphne disini terkesan maksa banget, banyak minta sama Simon, harus bawain bunga yang besar, harus ngadain 6 kali dances, bla bla bla, kesannya sangat childish. Padahal ini cuman ‘pura-pura’ dan Daphne melakukan ini semua biar dia lebih deket sama Simon aja.
    Daphne pingin punya cinta dan keluarga yang sempurna seperti orangtuanya, sedangkan Simon sebaliknya. Simon punya trauma karena dia dibuang sama bapaknya karena dia waktu itu gagap, akhirnya diselamatkan sam Lady Danbury, dan Simon berjanji sama bapaknya on his deathbed, Simon enggak bakalan punya keturunan supaya nama Hastings berhenti di dia aja, because he is THAT ashamed. Daphne tidak bisa menerima ini, karena dia terlanjur cinta sama Simon, Simon sebenernya juga berat hati, tapi dia insisted. Daphne malah jadi gaslight Simon, dia nyalahin Simon dan pemikirannya, ketika Simon raises his voice dan mendebat Daphne, Daphne marah, nangis, kesel dan pergi. GIRL U OK?
    Aku mulai sangat-sangat kesel dan nggak suka sama Daphne di episode berapa ya, yang intinya dia udah yakin move on ke seorang Pangeran Prussia, Prince Friedrich, dan Simon akhirnya pergi. Di sebuah pesta (lagi), Daphne merasa dia nggak ada feel sama si Pangeran, dan dia keluar dari pesta itu, Simon ada disana dan ceritanya mau say goodbye sama Daphne, tapi Daphne mau ‘nyakitin’ Simon dengan bilang kalo dia udah move on dan dia bakalan bahagia karena akhirnya dia akan menikah dan menjadi Princess. Simon diem aja karena semua accusation nya Daphne terhadap dia bener, dan DAPHNE KESEL KARENA DIA DIDIEMIN, Daphne akhirnya pergi TAPI JUGA BERHARAP DIKEJAR. Indeed akhirnya Simon ngejar Daphne sampe ke taman di lokasi pesta itu.
    Disini, oh my God, somehow Daphne cium Simon, ketahuan sama Anthony, dan karena Anthony merasa Simon sudah menodai adeknya, Simon ditantang duel sama Anthony. In this scene, Daphne bahkan tidak membela Simon sama sekali, indeed dia membela Simon SETELAH Anthony ngajak duel, dan itupun di rumahnya, bukan di depan Simon, awful. In the other side, sebenernya Anthony memanfaatkan hal ini untuk sesuatu. Kalo Anthony ketembak, mati dia, tapi kalo dia nggak mati dan dia berhasil nembak Simon, dia harus pergi dari London, dan juga sebenernya sambil bawa dan nikah sama Sienna. Di tempat duel, Daphne memberikan ‘solusi’ untuk menghindari duel ini, dengan cara maksa Simon nikah sama dia, padahal udah jelas kalo Simon enggak bisa ngasih Daphne keturunan. TAPI MEREKA NIKAH ANYWAY.
    The very bad and irritating scene adalah ketika mereka udah nikah, they had sex a lot and of course Simon nggak bisa ‘nyelesaiin’ semuanya, dan ini jadi masalah terus menerus buat Daphne, PADAHAL SIMON UDAH BILANG DAN DAPHNE TETEP MAKSA BUAT NIKAH, KARENA SESEORANG (selain Anthony) ADA YANG NGELIAT MEREKA DAN DAPHNE KHAWATIR NAMANYA DAN NAMA BRIDGERTON TERNODAI. Masalah paling f-up yang banyak dikritik orang adalah ketika Daphne sexually assaulted Simon untuk membuat Daphne hamil. Simon bener-bener marah, Daphne makin-makin marah karena Simon ‘ternyata’ nggak berubah juga, keras kepala and bla bla bla. Terus ketika ternyata Daphne enggak berhasil hamil, dia makin marah sama Simon. GIRL U OK? I don’t know, endingnya bereka punya bayi kok.
    Daphne is the real villain, she is indeed innocent pada fakta dimana dia nggak diajarin sama ibunya bagaimana cara ‘punya anak’ padahal dia pingin anak. Daphne memaksa Simon buat masuk ke perjanjian PDKT itu, Daphne yang jatuh cinta, Daphne yang cium Simon, Daphne yang passive aggressive sama Simon, Daphne yang maksa Simon buat nikah, Daphne yang maksa Simon buat dia hamil, and above all, Daphne yang nyalahin Simon. She is literally not innocent, and she is narcissistic too. Daphne bener-bener terlalu bahagia karena dia dibilang ‘flawless dan incomparable’ sama Ratu Charlotte. Simon is too overrated, dia enggak segagah itu kok, dia enggak sekarimatik itu. Karismanya dia di series ini menurut aku bener-bener dipaksain, he is handsome indeed, but not charismatic. Simon terlalu maksain fakta bahwa dia benci sama bapaknya, dengan dia gamau nerusin nama keluarganya, but the fact is that bapaknya udah meninggal anyway, he will not see his kid anyway. 
    Tentang akurasinya sama sejarah, yang juga ada hubungannya sama people of colour, udah banyak video youtube yang menjelaskan itu, so I will put them here. All I know, as history student, tahun 1813 kayaknya belum ada elite society yang ‘menerima’ people of colour, apalagi jadi Duke, dan di INGGRIS, oh my. I’m sure you guys know what happened between British and people of colour, right? And it was NOT because of LOVE. Bisa jadi mungkin casting Bridgerton colour blind, maksudnya mereka nggak melihat racial, siapa aja bisa jadi siapa aja di Bridgerton. This is for me where the MAIN criticisms begin, karena mereka ngambil satu periode sejarah. Walaupun penontonnya adalah orang-orang zaman sekarang yang udah pada ‘open minded’, but this is about history, this is about a society in a certain time and pleace of history. Jadi, mau nggak mau, kamu harus ngikutin periodnya, bukan penontonnya.
    About the plot, oh God, lagi-lagi, tentang akurasi yang dibawa dari periode itu. Bridgerton bener-bener membawa isu masa kini: colour blindness, feminism, Gossip Girl thingy, dan tentang sex orientation. Bridgerton sebenernya gabungan dari Gossip Girl, To All The Boys I’ve Had Loved Before, cuman digambarkan masa lalu aja, this is very wrong for me. Lagi-lagi, ini tentang satu masa dan tempat dalam sejarah, dan sejarah Inggris lagi, how dare you? Aku enggak menghakimi orang-orang yang suka bahkan cinta banget sama series ini. Some of my friends said that they like this show because of the interactions between the Bridgerton siblings and about how all the characters have their own story. She also like the hint of feminism revolutionary thinking, membahwa isu-isu racial dan sex orientation.
    My other friend said that she like the show because of the feminism revolutionary thinking of  Daphne who tried to own their things, dan bagaimana Daphne enggak diajarin sama ibunya tentang sex education. Temen aku juga pointed out bahwa tokoh utama yang membawa isu ini adalah orang yang feminin (Daphne) padahal biasanya wanita-wanita yang membawa tema feminisme itu rather have boyish look. Dia juga suka dimana tokoh-tokoh yang ada di Bridgerton semuanya berkembang dan berevolusi, jadi enggak cuman karakter utamanya aja. I don’t judge, really, it is just preferences. Aku mengambil sisi dari temen-temen aku juga karena aku butuh ‘penyegaran’ of what’s good in this series based on their opinion, and opinions are never wrong.
    Aku pingin banget disclaimer disini bahwa, I don't like the characters, not the actrees or the actors, they did so great, but the storytelling is just terrible.
    My overall ratings would be 4/10
    Thankyou for reading this long narrative about Bridgerton, I’ll review some other series and movies in the future, bye.

[References]

0 komentar:

Post a Comment

people who read my blog

search here?

Amaranggana Ratih Mradipta. Powered by Blogger.