I've been filling my blogs with thoughts, poems, my soul, my heart, anything. I use my blog as a bowl and everything that comes from my mind and my heart just....came out and fill the bowl like salad. I've trough many things in this month and previous month, another hard days this year. Tapi aku merasakan hal yang beda sih, di ujian kali ini, bcs, NO TEARS! Gilagila, no tears at all! Whoohoo! Aku sendiri gatau kenapa, lebih ke, masalah itu nggak penting karena aku punya banyak pikiran yang lebih penting daripada itu, bentrok antara pendalaman materi (pm) sama latihan biola for example, oh, I haven't told you about the violin things, right? I'll tell you next month.
Nggak biasanya aku mencurahkan semua unek unekku di blog, tapi daripada aku sepi post, walau blog sendiri udah diganti sama vlog yang lebih menarik, I love it classic, that's why this blog named "classy" (ha). And plus, maybe (maybe) one of them lucky person merasa merekalah inspirasi dibalik karya karyaku ini, congratulation and thanks! You made me more productive. Ya, no regrets, aku menulis semua itu ada kaitannya dengan certain person, ONLY that certain person, nggak tanggung jawab apabila ada pihak lain yang tercyduk sendiri, not my bussiness.
Intinya, I feel brighter than yesterday. Mungkin post post setelahnya akan lebih waras dari yang kemaren kemaren ini, wahaha.
Tchüss!
Friday, October 13, 2017
Wednesday, October 11, 2017
8 Oktober 2017
Sejak pertemuan pertama itu, bayangmu terus menghantuiku. Senyum yang mampu menyeka keringat setelah empat ratus dua puluh menit lamanya berada di tempat yang membuatku penat, dan tutur yang mampu tenangkan hati dan pikiran. Mungkin aku sekedar kagum, mungkin, namun semakin aku mengenalmu, semakin aku ingin berada di dekatmu setiap saat. Atau hanya sekedar melihatmu menggiring bola kuning di lapangan bersama teman temanmu dengan cekatan.
Tapi siapa aku? Siapa aku yang bisa mengharapkanmu? Melihatmu dari jendela saja aku malu, apalagi untuk menyayangimu. Tapi kau, kau melindungiku selalu bagai seorang kakak kepada adiknya. Kau pelipur lara bagai seorang sahabat yang setia. Kau yang membuat soreku indah. Kau hadir tanpa pamrih, kau setulus embun pagi yang membasahi bumi, menghapus dosa kemarin hari dan menyejukkan hari ini. Orang bilang, jika kau ingin orang itu mencintaimu, maka buatlah dia tertawa, namun setiap kali kau tertawa, akulah yang jatuh cinta. Karena kamu hampir segalanya.
Hampir, namun hampir tak menjelaskan semua. Hampir tak selalu dapat mengungkapkan melodi sendu tentang perasaan ini, atau syair mendayu tentang kamu. Sampai akhirnya cinta ini hanya mampu kupendam, mengungkapkan enggan, melupakan tak mau, hanya mengambang dalam atmosferku yang tak pernah kau hirup, semakin menipis atmosfer itu seiring aku menemukan orang lain. Tak sanggup aku dalam stagnansi yang membutakanku, aku berharap dengan mulai membukakan hatiku kepada orang lain, dapat mengenyahkan dirimu. Aku tersadar siapa aku dan siapa kamu, yang seperti minyak dan air.
Bukan aku tak mencintai kekasihku, bukan aku hanya menjadikannya pelarian, aku tulus mencintainya karena dia adalah dia, namun kau tetap yang pertama. Mendungmu selalu kurasakan, apalagi badaimu, badai dalam batinmu. Kau tak pernah tau aku ikut merasakannya, lagi lagi karena aku memendamnya, kalut dalam perasaanku sendiri, karena aku takut menyakiti kekasihku. Kamu tetaplah kamu perasaan ini tak berubah, bahkan tak terkikis oleh air mata kekasihku yang memohonkanku mengenyahkanmu dan perasaan ini tak hangus terbakar api cemburunya. Sampai akhirnya akulah yang terkikis, akulah yang hangus, aku sadar, takkan selamanya begini.
Akhirnya badai katrina itu datang, kau mengundangku senja itu untuk bercerita tentang dia yang telah kau temukan. Dia yang kelak akan menjadi sandaran hatimu saat kau lelah akan munafiknya dunia. Dia yang kelak akan menggandengmu menuju altar kehidupan di depan sana. Dia yang kelak akan menyandingimu, menemanimu, menghapus semua gundahmu namun melimpahkannya padaku. Hatiku tidak terima, kenapa harus dia? Namun tak kuhiraukan lagi kecambuk kecambuk dalam sukmaku, aku menandatangani perjanjian itu untuk melepasmu dalam hidupku, merelakanmu, cinta pertama di masa sekolahku, untuknya. Senja kala itu muram, bahkan bola oranye yang sedang kau giring itu, dia juga lelah.
Tentu hanya aku yang merasakan kehampaan itu, karena salahku sendiri memiliki rasa yang tak sampai tujuannya ini. Kau telah berubah, dengan dalih tak ingin kekasihku khawatir akan keselamatan hubungan aku dan dia, dengan mengatasnamakan kalau kau sudah menjadi kakakku sendiri. Padahal aku tau, aku tau, kau mana butuh perhatianku lagi, kau mana butuh canda tawaku lagi, kau mana butuh aku lagi. Aku sepenuhnya memahami situasi ini, kau tau aku takkan sepenuhnya melepaskanmu, aku khawatir, aku sangat khawatir ada seorangpun yang melukai batinmu. Karena apabila ia melukai batinmu, dia membunuh batinku.
Rasa rindu yang selalu menghampiri setiap senja menyambutku di lapangan, kutunggu kehadiranmu ditengah tigapuluh orang lebih yang sedang beriringan dengan rapi. Lelah aku mengecek jam tanganku menunggu langkahmu yang seakan dapat mewarnai duniaku yang pankromatik semenjak kau hengkang dari ini. Namun apabila kau datang pula, aku harus menyembunyikan kegembiraan ini dalam dalam supaya tak tumpah tuah ke hadapanmu, aku harus terus bersikap profesional walaupun nyawaku sebenarnya sedang menyapamu dengan hangat.
Namun sering kudengar kabar tak sedap dari sejawat bahwa kekasihmu sering menyeleweng, perlukah aku percaya? Namun akupun sudah kenal dia, mana mungkin dia melakukan hal demikian? Namun ketika aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Tak tega aku membayangkan apabila kau sedang melihatnya pula. Tidakkah kau tau, tangan itu sedang menghampiri kepalanya dengan mesra, tangan orang lain. Tatapan itu diam diam membelainya, tatapan orang lain. Sudikah kau melihat pemandangan seperti itu? Akupun tak sudi, ingin kutikam saja dia karena dia telah menyakiti batinmu yang terdalam.
Namun kaupun tak percaya apa yang kukatakan, kaupun tak mau tahu bagaimana kronologisnya, kau sudah terbutakan oleh cintamu. Padahal kau sendiri yang mengatakan bahwa kau sering diinjaknya, penghargaanmu sering diabaikannya, kau sendiri yang mengatakan bahwa kau ingin mendapat kecelakaan untuk melihat masih pedulikah dia denganmu. Namun kau membalikkan semua padaku, kau menuduhku memiliki tujuan tersembunyi dibalik semua ini, kau menuduhku ingin merusak hubungan kalian, kau menuduhku ingin mencari untung atas kedukaanmu. Teganya kau mengatakan demikian, teganya kau membunuh rasa percaya yang telah aku bangun bertahun tahun lamanya.
Apa untungnya bagiku apabila niat asliku ingin merusak hubungan kalian? Aku sudah memiliki pendamping yang kelak akan menemaniku sampai nanti. Apa untungnya bagiku apabila niat asliku ingin merebutmu? Bukankah aku sudah sadar posisiku dan posisimu bagai minyak dan air? Apa untungnya bagiku membagikan aibnya padamu, sedangkan dia adalah kekasihmu sendiri yang seharusnya kau lebih menahu tentangnya. Kau tuduhkan semua itu padaku seakan aku ini serigalanya yang dihadapanmu menjadi domba. Mengapa teganya kau berprasangka sebusuk itu?
Benar dugaanku dari awal, kau memang sudah tak menganggapku lagi sejak selesai kau menceritakanku tentangnya senja kala itu. Kau hanya bermain hati dan pura pura menghidupkan duniaku yang pankromatik tanpa canda tawa dan ujaran jenakamu. Aku tak mengerti apa yang ada dalam benakmu saat mengatakannya, seakan aku ini wanita hina yang mengemis perasaanmu. Tidak, tidak akan lagi aku tertipu dengan muslihatmu yang semanis madu namun mematikan bagai racun. Tak akan ada lagi sebutan sebutan inisial kita, anggap saja sebutan itu telah berenang jauh ke dalam laut dan takkan lagi muncul ke daratan kalbu yang sedang terkhianati ini.
Delapan oktober dua ribu tujuh belas, matinya perasaan yang telah tiga tahun berdiri tanpa pilar. Lama kelamaan diriku akan terbiasa tidak mengindahkan kehadiranmu.
Tuesday, October 10, 2017
Sandiwara Peradaban
Ada kalanya kau sambut pagi dengan binar
Ada kalanya kau sambut pagi dengan nanar
Kau penentu neraka dan surga hidup
Apakah dunia membuatmu merasa cukup?
Kau muak dengan kejujuran caci maki
Atau kemunafikan puja puji
Dunia ini panggung sandiwara agung
Gemilang aurora dan gelapnya palung
Hentikan pagelaran topeng topeng itu
Dari luar memang strategi jitu
Pemuja muji penyebar fitnah keji
Pengumbar aib penghasil benci
Kau tau apa yang lebih menyakitkan dari patah hati?
Adalah pengkhianatan sahabat sejati
Ketulusan hati tak dinilai lagi
Hanya materi yang ia cari
Gelaran menutup acara megahnya
Lampu latar meredup lalu sirna
Usailah sudah drama peradaban ini
Peradaban terkeji milenium ini
Tuesday, October 3, 2017
Teroesir (red: terusir) (2)
Sudah cukup melintas balik kenangan itu dalam pikiran, hanya menghabiskan waktu dan mengikis perasaan saja.
Namun tak akan habis dalam lembar baru kehidupanku, kehidupan yang aku harapkan dapat memberikan pelajaran kehidupan padaku, supaya aku lebih baik dan bangkit dari gundukan fitnah dan caci maki yang kuterima pada fase kehidupanku sebelumnya. Pengkhianatan terbesar dalam hidupku, kau tak lagi mengenal siapa teman yang tiga tahun ada disampingmu, kau tak lagi mengenal sahabatmu sejak awal kau kenal karena senasib, tak lagi kau jumpai orang alim yang selalu menasehatimu itu lagi karena dia sudah ternoda oleh nafsunya sendiri. Siapa lagi yang dapat aku percaya saat orang yang paling aku percaya berkhianat? Terusirlah sudah aku dari persahabatan yang kita gadang gadangkan menjadi abadi sampai liang lahat nanti, seiring terkuburnya pula harapanku mengenalkan anak kita masing masing kelak saat sudah berkeluarga.
Terusir sudah aku dari keluarga besar instansi yang namanya telah aku tinggikan namun namaku sendiri kuabaikan.
Di tengah safarmu menuju fase selanjutnya, kau bertemu senjamu yang syahdu. Semburat jingganya membelaimu manja seiring malam tiba, sang senja selalu melindungimu dari segala yang akan menyakiti fisik dan batinmu. Namun, sang senja tidak pernah benar benar aku raih, hanya bayang semburatnya yang kurasakan, tak pernah sesungguhnya kusentuh hati sang senja. Sang senja begitu suci untuk disentuh hatinya, tak pernah ada niatan apapun menyakiti sang senja, faktanya, karena diam diam aku mencintai sang senja. Cinta yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, cinta yang bahkan tak ada niat untuk memiliki, hanya untuk melihatnya bahagia di jalannya sendiri. Sang senja memikatku dengan pribadinya yang begitu santun, sang senja tidak perlu menunjukkan apa apa untuk membuatku kagum, dirinya seorang membuatku belajar banyak hal.
Namun sang senja telah menemukan cakrawalanya, cakrawala yang akan menaunginya, cakrawala yang akan senantiasa melindungi dan mencintai sang senja sampai benamnya. Kini sang senja telah merekuh bersama cakrawala jingga,
Indah,
Di langit,
Dan tak akan bisa kusentuh lagi
Bahkan untuk terakhir kali
Sang senja berubah menjadi malam nan dingin, kadang bertabur bintang, kadang sendu dengan kabutnya menutupi bulan. Tak pernah kutemui sang senja lagi sejak ia sudah menjadi malam dengan cakrawalanya. Padahal aku selalu merindukan sang senja, karena aku bernaung padanya, melepas penat dan segala keluh kesah.
Suatu hari cakrawala kelabu, ia tak lagi menampakkan keindahan sang senja, ia sering hujan dan disertai halilintar, menusuk hati siapapun yang melihat dan mendengarnya. Sudah kukatakan pada sang senja untuk berhati hati, untuk senantiasa menjaga keindahannya. Namun apa yang dikatakan sang senja padaku benar tragis
"Aku mencintai cakrawalaku, yang senantiasa menaungiku dan pula mencintaiku. Jangan usik kami"
Aku terusir dari jingga sang senja, menyisakkan bulir bulir air di mataku mengenang semua hal yang kuceritakan pada sang senja, dan bagaimana kami disatukan dulu.
Aku terusir karena sang senja sudah menemukan cakrawalanya, kini sang senja sudah berubah menjadi malam dengan bintangnya nan sempurna, dikagumi insan di dunia.
"Kutunggu kau di asana selepas senja"
Kau temukan senjamu kini.
Teroesir (red: terusir) (1)
Aku bersumpah akan menutup rapat rapat lembaran usang masa kelamku, dimana manusia bermuka dua tak lain adalah karibku. Dimana dibalik semua peluk ada belati yang ditancapkannya ke punggungku, dan manusia yang mengeksploitasi jiwaku sesuka mereka sampai aku terjatuh dan tak ada yang peduli. Jangankan peduli, menengok saja tak sudi. Tak lama kulupakan semuanya, lalu kubumihanguskan kenangan emas itu dengan memasukkannya ke kobaran jago merah. Seiring sisa sisa kertas merangkak naik lalu turun kembali ke tanah menjadi abu, begitulah hatiku saat kau dustai.
Seiring kubumihanguskan mushaf mushaf itu, wajahnya tampak lagi, cinta pertamaku masa sekolah. Tak pernah kunilai ia sekedar paras, cinta ini suci bukan melihat material. Sosoknya yang santun, bertalenta dan selalu ingin tahu, membuatku tertarik seketika. Seakan seluruh dunia tau kita adalah sepasang insan yang sedang kasmaran, padahal kita tak lebih dari sahabat. Namun apa yang kupunya, ketika teman temanmu selalu menilaiku secara fisik. Aku memang tak anggun, tak memiliki paras bak bidadari, apalagi bentuk badan seperti gitar spanyol.
Lama tak kuhiraukan celaan celaan temanmu tentang bagaimana hinanya aku mengharapkan dirimu, bak pungguk merindukan bulan. Namun tekanan itu semakin ada dan semakin menguat, aku tak tahan lagi menerimanya. Lalu sudilah aku menyiksa diriku sendiri sampai mendekati ajalku, untuk menjadi wujud wanita ideal bagimu, atau bagi perspektif temanmu? Namun apa yang kulihat, wahai pemain gitar? Kau di bibir pantai itu bersamanya yang saat ini kau cinta. Rasa hati ingin menyiksa diriku lagi sampai bertemu malaikat pencabut nyawa. Kau yang kutunggu dasawulan ini, kau yang selalu kuusahakan apapun, kau yang ku cintai sejak awal kita berjabat tangan masa itu, kau, yang aku hampir mati demi menyempurnakan fisikku, lalu kau tinggal aku bersama temanku sendiri?
Wahai, pemain gitar. Tak sudi lagi aku menyebut namamu dalam doaku lima waktu. Tak sudi lagi aku mengingat potret bersama kita yang mesra. Tak sudi lagi aku bahkan menyebut namamu di bibir ini.
Pemain gitar, aku telah terusir dari melodi indah yang dihasilkan keenam senarmu. Kini ku bukanlah sumber inspirasi mahakarya simfonimu.
Wahai engkau sang pujangga, syairmu membelaiku manja saat aku terpuruk menatap kelamnya langitku. Namun tak semudah itu aku dirayu lagi untuk mencinta, tak semudah itu melupakan dia yang berkhianat. Apalagi kau seorang pujangga yang dipuja puji khalayak banyak, dan karibku konsumen setia syair indahmu, tak mungkin aku mengkhianati saudariku sendiri. Namun rumor hangat yang menyatakan kedekatanmu dengamu berhembus santer, dan sampai ke telinga saudariku. Kau sudah tau yang terjadi, teror dan caci maki dihadapkan padaku, padahal tak satupun aku menambatkan rasa padamu, sang pujangga. Siapa yang menebar kebencian ini yang begitu dalam? Lalu aku lagi yang terusir dari kursi itu.
Sang pujangga, jangan kau dustai perasaanmu dengan lebih memilihku dibanding wanita se sempurna merpati putih itu. Jangan kau bermanis lidah denganku karena sudah banyak janji palsu yang kulahap. Jangan kau tumbuhkan harapan itu jika kau tak berniat menuainya. Aku sungguh tidak butuh cinta itu, aku hanya membutuhkan teman untuk bersandar. Kau tarik ulur terus perasaanku sampai akupun lelah, kau ikat aku lalu kau lepaskan aku saat merpati putih itu kembali.
Sampai kau berniat memelihara merpati putih itu, sudah lama kunantikan kabar itu. Lalu kau meminta maaf padaku setelah kau mengusirku dari penamu.
Tak berguna, wahai pujangga. Sudah kukatakan dari awal, tak sampai syairmu melelehkan hatiku, kau hanya ingin semakin dikenal dengan menyangkutkan namaku dalam kabar burung tersebut.
Aku telah terusir sepenuhnya dari bait bait seorang pujangga yang syairnya menyeruak dalam jiwa.